Seorang teman saya pernah berkata, "Orang Indonesia ibarat ayam yang mati kelaparan di lumbung padi."
Sebuah ungkapan yang sudah agak umum, memang, dan saya yakin bukan dia yang
mengucapkan kalimat tersebut pertama kali, tetapi bagi saya kalimat itu masih terasa
menggelitik dan mengajak saya berpikir dan merenung. Setidaknya saya jadi
teringat informasi-informasi yang pernah saya dengar sebelumnya bahwa negeriku
ini kaya raya, gemah ripah loh jinawi. Hampir semua ada di negeri ini. Alam
menyediakan semuanya. Lautnya luas dan kaya akan ikan dan bahan mineral,
daratannya menyimpan emas, minyak, batubara, biji besi, yang mungkin cukup
untuk dipakai sendiri dan sebagainya. Tapi kenyataannya sebagian besar
rakyatnya hidup melarat, hidup di bawah garis kemiskinan.
Sebenarnya ini bukan bermaksud menyalahkan keadaan melainkan mengajak
merenung dan berpikir serta menyadari bahwa kenyataan seperti ini memang ada.
Kenyataan pahit yang sebenarnya sangat tidak sesuai dengan logika dan
perhitungan atas potensi yang tersedia. Banyak bangsa lain yang negaranya
kecil, tandus, dan miskin tetapi rakyatnya hidup makmur bertolak belakang
dengan bangsa kita. Lihatlah Singapura dan Brunai. Negara-negara tersebut
hampir tak terlihat dalam peta, tetapi kabarnya rakyatnya lumayan sejahtera.
Pasti ada yang salah dalam hal ini. Tapi apanya yang salah? Siapa yang
salah?
Jawaban atas pertanyaan tersebut hampir tidak ada gunanya untuk
diperdebatkan. Jawaban atas pertanyaan tersebut juga hampir tidak ada gunanya
apabila lahir dari satu atau dua orang anak negeri ini. Lebih tidak berguna
lagi kalau hanya dipikirkan dan diterapkan oleh satu atau dua anak negeri ini.
Seharusnya seluruh anak negeri menemukan kesepahaman meskipun dalam perbedaan.
Seharusnya seluruh anak negeri memiliki kesadaran kolektif yang positif untuk
membangun negeri yang kita cintai ini.
Mulai sekarang kita harus belajar dan menyadari bahwa negeri Indonesia ini
kaya raya dan bisa menjadikan rakyatnya hidup sejahtera. Mulai sekarang kita
harus yakin bahwa kita mampu mengelola kekayaan negeri ini. Berhentilah
menyerahkan pengelolaannya kepada bangsa lain. Saya tidak bermaksud mengajak
memusuhi bangsa lain. Bukan. Saya hanya ingin mengajak menyadari bahwa kita
semua sederajat dan memiliki harga diri seperti bangsa lain.
Saya pernah merasa trenyuh mendengar bangsaku mengcari penghidupan di negara
lain hanya sekedar jadi pembantu, tukang pasang baut dan mur, paling banter
jadi sopir dan hak-hak seadanya. Lebih trenyuh lagi setiap kali mendengar dan
melihat mereka teraniaya, terhina, bahkan ada yang sampai tewas. Apakah Ibu
Pertiwi sudah tidak mampu memberi? Apakah Ibu Pertiwi hanya memberi yang
terbaik untuk bangsa lain? Cobalah renungkan kawan, orang asing yang bekerja di
Indonesia memiliki posisi terhormat, misalnya: Direktur, Manager, Tenaga Ahli,
dan Mandor. Mereka mendapat gaji puluhan sampai ratusan juta per bulan. Ya, per
bulan. Di apartemennya, mereka memiliki babu orang Indonesia. Coba pikir, siapa
yang seharusnya menjadi tuan? Mengapa kita menjadi babu dan jongos orang asing?
Kasihan sekali bangsaku ini, merantau ke negeri lain menjadi pembantu, hidup di
negeri sendiri juga menjadi babu. Kapan bisa maju?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar